MAKALAH
MANAJEMEN
PENGHIMPUNAN DANA “ FUNDING” DAN PENYALURAN DANA “LENDING” PADA BANK SYARIAH
Dosen
Pengampu : Ahmad Miftahul F,S.Pt.MM.
disusun
oleh :
Mustofa Ariful Y. : 26.10.5.1.035
PRODI MANAJEMEN SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN
EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI SURAKARTA
2012/2013
BAB
1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Menurut pasal 1 undang-undang No. 4 Tahun 2003 tentang Perbankan, Bank
adalah Bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatan tidak
memberikan jasa dalam lalulintas pembayaran.
Sedangkan menurut pasal 1 undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan
undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Bank didefinisikan sebagai badan
usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak.
Dengan demikian jelas dinyatakan dalam kedua pasal di atas bahwa bank
adalah lembaga keuangan yang menjalankan kegiatan usahanya baik secara syariah
maupun konvensional dalam fungsinya sebagai intermediasi antara masyarakat yang
memiliki dana lebih (deposan) dengan masyarakat yang membutuhkan dana
(kreditur).
Perkembangan dan pertumbuhan dunia perbankan akan sangat di pengaruhi oleh
kemampuannya dalam menghimpun dana masyarakat, baik bersekala kecil maupun besa
dengan masa pengendapan yang memadai. Sebagai lembaga keuangan, masalah bank
yang paling utama adalah dana. Tanpa dana yang cukup, bank tidak dapat
berfungsi sama sekali. Sebagai sebuah lembaga keuangan, perbankan Islam juga
melakukan kegiatan penghimpunan dana
agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Penghimpunan dana di bank Islam
dapat berbentuk giro, tabungan dan deposito dengan menggunakan prinsip wadi’ah
dan mudharabah sebagai prinsip operasional Islam yang diterapkan
dalam penghimpunan dana masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini nantinya akan dibahas adalah mengenai :
1. Apa yang
dimaksud dengan penghimpunan dana (funding ) dan penyaluran dana
( landing )
2. Macam-macam akad yg digunakan untuk menghimpun dan
menyalurkan dana.
3. Dasar hokum akad-akad yang digunakan untuk menghimpun
dan menyalurkan dana .
4. Produk perbankan syariah pada setiap akad penghimpunan
dan penyaluran dana.
5. Strategi
dan sasaran penghimpunanan dan penyaluran dana
6.
Upaya-upaya yang dilakukan demi kelancaran dana baik dibagian funding maupun
landing.
BAB 11
PEMBAHASAN
A.
Manajemen keuangan penghimpnan dana “Funding”
1.
Pengertian Funding
Funding atau penghimpunan dana
adalah suatu kegiatan usaha yang dilakukan bank untuk mencari dana kepada pihak
deposan yang nantinya akan disalurkan kepada pihak kreditur dalam rangka
menjalankan fungsinya sebagai intermediasi antara pihak deposn dengan pihak
kreditur.
Prinsip yang digunakan ada dua bergantung dari jenis banknya yaitu Bank
Konvensional dan Bank Syariah dengan prinsip konvensional dan dengan prinsip
syariah.
Dalam Bank Syariah,
klasifikasi penghimpunan dana yang utama tidak didasarkan atas nama produk melainkan
atas prinsip yang digunakan. Berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional prinsip
penghimpunan dana yang digunakan dalam bank syariah ada dua yaitu prinsip
wadiah dan prinsip mudharabah.
2.
Macam-macam akad yang digunakan dalam penghimpunan dana
Penghimpunan
dana di bank syari’ah dapat berbentuk giro, tabungan dan deposito. Prinsip
operasional syari’ah yang diterapkan dalam pennghimpunan dana masyarakat adalah
prinsip wadiah dan mudharabah.
A. Prinsip
Wadiah
Wadiah dapat diartikan sebagai titipan murni dari
satu pihak ke pihak lain, baik individu ataupun badan hukum, yang harus dijaga
dan dikembalikan kapan
saja si penitip menghendaki.
Prinsip wadiah yang diterapkan adalah wadiah
yad dhaman yang diterapkan pada produk rekening giro. Wadiah dhaman berbeda
dengan wadiah amanah. Dalam wadiah amanah, pada prinsipnya harta titipan tidak
boleh dimanfaatkan oleh yang dititip. Sedangkan dalam hal wadiah dhamanah,
pihak yang dititipi (bank) bertanggung jawab
atas keutuhan harta titipan sehingga ia boleh memanfaatkan harta titipan
tersebut. Dengan demikian akad wadiah ini mengandung unsur amanah, kepercayaan
(trusty).
Ø Tabungan Wadiah
Tabungan wadiah merupakan tabungan yang dijalankan berdasarkan akad wadiah,
yakni titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat sesuai
dengan kehendak pemiliknya. Terkait dengan produk tabungan wadiah, Bank Syariah
menggunakan akad wadiah yad adh-dhamanah. Dalam hal ini, nasabah bertindak
sebagai penitip yang memberikan hak kepada Bank Syariah untuk menggunakan atau
memanfaatkan uang atau barang titipannya, sedangkan Bank Syariah bertindak
sebagai pihak yang dititipi dana atau barang yang disertai hak untuk
menggunakan atau memanfaatkan dana atau barang tersebut. Sebagai
konsekuensinya, bank bertanggung jawab terhadap keutuhan harta titipan tersebut
serta mengembalikannya kapan saja pemiliknya (nasabah) menghendaki. Di sisi
lain, bank juga berhak sepenuhnya atas keuntungan dari hasil pemanfaatan harta
titipan tersebut.
Ø
Giro Wadiah
Secara umum, yang dimaksud dengan giro adalah cek, bilyet giro, sarana
perintah bayar lainnya, atau dengan pemindah bukuan. Adapun yang dimaksud
dengan giro syariah adalah giro yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip
syariah. Dalam hal ini, Dewan Syariah Nasional telah mengeluarkan fatwa yang
menyatakan bahwa giro yang benar secara syariah adalah giro yang dijalankan
berdasarkan prinsip wadiah dan mudharabah.
v Jenis-jenis wadiah:
1)
Wadiah yad al-Amanah: safe deposit box, rahn
Wadi’ah yad al-amanah atau titipan murni, dimana pihak yang
dititipi/bank/ mustawda’ tidak boleh memanfaatkan barang yang dititipkan dan
sebagai imbalan atas pemeliharaan barang tersebut, pihak yang menerima
titipan/bank dapat meminta biaya penitipan
2)
Wadiah yad adh-Dhamanah: giro wadiah
Wadi’ah
yad adh-dhamanah atau titipan yang mengandung pengertian bahwa penerima titipan
diperbolehkan memanfaatkan dan berhak mendapat keuntungan dari barang titipan
tersebut dengan syarat tidak diperjanjikan sebelumnya, dan penerima titipan
harus bertanggung jawab atas barang titipan apabila terjadi kerusakan.
B. Prinsip Mudharabah
Menurut IAI (2002: 59.2), “Mudharabah adalah
akad kerjasama antara shahibul maal (pemilik dana) dan mudharib (pengelola dana) untuk mencari keuntungan
dengan nisbah bagi hasil menurut kesepakatan di muka.” Menurut Abdullah Saeed
(2004: 77), “Mudharabah adalah kontrak
antara dua pihak dimana satu pihak yang disebut rab al-mal (investor) mempercayakan uangnya kepada pihak
kedua, yang disebut mudharib.
Berdasarkan kewanangan yang diberikan pihak
penyimpan dana, prinsip mudharabah terbagi menjadi tiga, yaitu :
1.
Mudharabah Mutlaqah (Unrestricted Investment Account)
Dalam
mudharabah mutlaqah tidak ada pembatasan bagi bank dalam menggunakan data
yang dihimpun. Nasabah tidak memberikan persyaratan apapun kepada bank, ke
bisnis apa dana yang disimpannya itu hendak disalurkan, atau menetapkan
penggunaan akad-akad tertentu, ataupun mensyaratkan dananya diperuntukkan bagi
nasabah tertentu. Jadi bank memiliki kebebaran penuh untuk menyalurkan dana
URIA ini ke bisnis manapun yang diperkirakan menguntungkan. Dari penetapan mudharabah mutlaqah
ini dikembangkan produk tabungan dan deposito, sehingga terdapat dua jenis
penghimpun dana yaitu :
Ø Tabungan Mudharabah
Yang dimaksud dengan tabungan mudharabah adalah
tabungan yang dijalankan berdasarkan akad mudharabah. Mudharabah sendiri
mempunyai dua bentuk, yakni mudharabah mutalaqah dan mudharabah muqayyadah,
perbedaan yang mendasar diantara keduanya terletak pada ada atau tidaknya
persyaratan yang diberikan pemilik harta kepada pihak bank dalam mengelola hartanya
Ø Deposito Mudharabah
Yang juga termasuk produk bank dalam bidang
penghimpunan dana (founding) adalah deposito. Berdasarkan undang-undang No. 10
Tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang
perbankan, yang dimaksud dengan deposito berjangka adalah simpanan yang
penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu-waktu tertentu menurut perjanjian
antara penyimpan dengan bank yang bersangkutan.
2. Mudharabah Muqayyadah on Balance Sheet (Restricted Investment Account)
Jenis
mudharabah ini merupakan simpanan khusus (restricted investment) dimana pemilik
dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank.
Misalnya disyaratkan digunakan untuk bisnis tertentu, atau disyaratkan
digunakan dengan akad tertentu, atau disyaratkan digunakan untuk nasabah
tertentu.
3.
Mudharabah Muqayyadah off Balance Sheet
Jenis mudharabah ini meruapakan penyaluran
dana mudharabah langsung kepada pelaksana usahanya, dimana bank bertindah
sebagai perantara (arrange) yang mempertemukan antara pemilik dana dengan
pelaksana usaha. Pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu yang
harus dipatuhi oleh bank dalam mencari kegiatan usaha yang akan dibiayai dan
pelaksanaan usahanya.
3. Dasar hukum
a. Dasar hukum
giro
Ø Fatwa dewan
syariah nasional No 01/DSN-MUI/VI/2000 tentang giro.
Ø Firman allah
Qs. An-nisa 29.
“hai
orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan (mengambil) harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perbiagaan yang berlaku
dengan sukarela di antaramu”.
Ø Hadist riwayat
abu daud
“ abu
hurairah meriwayatkan bahwa rasulullah SAW bersabda, sampaikanlah/ tunaikanlah
amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang
yang telah menghianatimu”.
Ø Ijmak
bahwa telah
terjadi ijmak dari para ulama terhadap legitimasi wadiah, mengingat kebutuhan
manusia mengenai hal ini sudah jelas terlihat.
b. Dasar hukum tabungan.
Ø Firman Allah
Qs. an-nisa 29.
“hai
orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan (mengambil) harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perbiagaan yang berlaku
dengan sukarela di antaramu”.
Ø Fatwa dewan
syariah nasional no 02/DSN-MUI/IV/2000 TENTANG TABUNGAN.
Ø Hadist
diantaranya
“abbas bin
abdul muthalib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan
kepada mudharibnya agar tidak mengarungi mengarungi lautan dan tidak menuruni
lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyartan di langgar, ia
(mudharib) harusmenanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan oleh
abbas itu di dengar rasulullah, beliau membenarkanya” HR. Tabrani dari ibnu
abbas
Ø Ijma’
diriwayatkan, sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib) harta anak
yatim sebagai mudharabah dan tidak ada seorangpun mengingkari mereka. Karenanya
halitu dipandang sebagai ijma”.
Ø Qiyas,
transaksi mudharabah di qiyaskan sebagai transaksi musyaqoh
Ø Kaidah fiqh “
pada dasarnya semua bentukmuamalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkanya”.
A.
Manajemen keuangan penyaluaran dana “lending”
1. Pengertian
lending
Adalah Dana yang terdapat di bank dapat
disalurkan kembali oleh bank kepada masyarakat.
2.
Akad beserta dasar hukum yang di gunakan dalam
penyaluran dana,antara lain ;
A.
Prinsip Titipan atau Simpanan (Depository)
Ø
Al-wadi’ah
Wadi’ah merupakan simpanan (deposit) barang atau dana kepada pihak lain yang bukan pemiliknya untuk tujuan keamanan. Wadi’ah adalah akad penitipan dari pihak yang mempunyai uang/barang kepada pihak yang menerima titipan dengan catatan kapanpun titipan diambil pihak penerima titipan wajib menyerahkan kembali uang/barang titipan tsb dan yang dititipi menjadi penjamin pengembalian barang titipan.
Dasar hukum
1. QS. An-Nisaa: 58)
2. Abu Hurairah meriwayatkan bhw Rasulullah SAW bersabda: “Tunaikanlah amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Hakim).
Wadi’ah merupakan simpanan (deposit) barang atau dana kepada pihak lain yang bukan pemiliknya untuk tujuan keamanan. Wadi’ah adalah akad penitipan dari pihak yang mempunyai uang/barang kepada pihak yang menerima titipan dengan catatan kapanpun titipan diambil pihak penerima titipan wajib menyerahkan kembali uang/barang titipan tsb dan yang dititipi menjadi penjamin pengembalian barang titipan.
Dasar hukum
1. QS. An-Nisaa: 58)
2. Abu Hurairah meriwayatkan bhw Rasulullah SAW bersabda: “Tunaikanlah amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Hakim).
B. Prinsip
Bagi Hasil (Profit-Sharing)
Ø
Al-musyarakah (partnership, project
financing participation)
Al-Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana atau amal (expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama.
Al-Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana atau amal (expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama.
Dasar hukum
1. “…maka mereka berserikat pada sepertiga…” (QS. An-Nisa: 12)
2. Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati lainnya” (HR. Abu Dawud dan Hakim).
1. “…maka mereka berserikat pada sepertiga…” (QS. An-Nisa: 12)
2. Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati lainnya” (HR. Abu Dawud dan Hakim).
Ø
Al-mudharabah (trust financing, trust
investment)
Mudharabah berasal dari kata dharb yang berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Secara teknis al-mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tsb.
Mudharabah berasal dari kata dharb yang berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Secara teknis al-mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tsb.
Dasar hukum
1. “…dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari mencari sebagian karunia Allah SWT…” (QS. Al-Muzammil: 20).
2. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdil Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas pada dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah SAW dan Rasulullah pun membolehkannya”. (HR. Thabrani).
1. “…dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari mencari sebagian karunia Allah SWT…” (QS. Al-Muzammil: 20).
2. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdil Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas pada dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah SAW dan Rasulullah pun membolehkannya”. (HR. Thabrani).
Jenis-jenis mudharabah
a. Mudharabah Muthlaqah: adalah bentuk kerjasama antara shahibul mal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Dalam pembahasan fiqih ulama salafus saleh seringkali dicontohkan dengan ungkapan if’al ma syi’ta (lakukanlah sesukamu) dari shahibul mal ke mudharib yang memberi kekuasaan sangat besar.
b. Mudharabah Muqayyadah: adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Si mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum si shahibul mal dalam memasuki jenis dunia usaha.
a. Mudharabah Muthlaqah: adalah bentuk kerjasama antara shahibul mal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Dalam pembahasan fiqih ulama salafus saleh seringkali dicontohkan dengan ungkapan if’al ma syi’ta (lakukanlah sesukamu) dari shahibul mal ke mudharib yang memberi kekuasaan sangat besar.
b. Mudharabah Muqayyadah: adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Si mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum si shahibul mal dalam memasuki jenis dunia usaha.
Ø
Al-muzara’ah (harvest-yield profit
sharing)
Al-Muzara’ah adalah kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (presentase) hasil panen. Al-Muzara’ah seringkali diidentikan dengan mukhabarah. Diantara keduanya terdapat sedikit perbedaan sebagai berikut. Muzara’ah: benih dari pemilik lahan, sedangkan mukhabarah: benih dari penggarap.
Dasar hukum
1. Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan tanah Khaibar kepada penduduknya (waktu itu mereka masih Yahudi) untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil buah-buahan dan tanaman.
Al-Muzara’ah adalah kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (presentase) hasil panen. Al-Muzara’ah seringkali diidentikan dengan mukhabarah. Diantara keduanya terdapat sedikit perbedaan sebagai berikut. Muzara’ah: benih dari pemilik lahan, sedangkan mukhabarah: benih dari penggarap.
Dasar hukum
1. Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan tanah Khaibar kepada penduduknya (waktu itu mereka masih Yahudi) untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil buah-buahan dan tanaman.
B.
Prinsip Jual-Beli (Sale and Purchase)
Ø
Bai’ al-murabahah (deferred payment
sale)
A.
Bai’ al-murabahah adalah jual beli barang pada harga
asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam bai’ al-murabahah,
penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu
tingkat keuntungan sebagai tambahannya.
Dasar hukum
1. “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah: 275)
2. Dari Suhaib ar-Rumi ra bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah bukan untuk dijual”. (HR. Ibnu Majah).
1. “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah: 275)
2. Dari Suhaib ar-Rumi ra bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah bukan untuk dijual”. (HR. Ibnu Majah).
Ø
Bai’ as-salam (in front payment sale)
Dalam pengertian yang sederhana, bai’ as-salam berarti pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka.
Dalam pengertian yang sederhana, bai’ as-salam berarti pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka.
Dasar hukum
1. “Hai orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu menuliskannya…” (QS. Al-Baqarah: 282). Dalam kaitan ayat tersebut Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan ayat tersebut dengan transaksi bai’ as-salam. Hal ini tampak jelas dari ungkapan beliau, “Saya bersaksi bahwa salaf (salam) yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan oleh Allah pada Kitab-Nya dan diizinkan-Nya”, ia lalu membaca ayat tersebut.
2. Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW datang ke Madinah dimana penduduknya melakukan salam dalam buah-buahan untuk jangka waktu satu, dua, dan tiga tahun. Beliau berkata: “Barangsiapa yang melakukan salaf (salam) hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula untuk jangka waktu yang diketahui”
1. “Hai orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu menuliskannya…” (QS. Al-Baqarah: 282). Dalam kaitan ayat tersebut Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan ayat tersebut dengan transaksi bai’ as-salam. Hal ini tampak jelas dari ungkapan beliau, “Saya bersaksi bahwa salaf (salam) yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan oleh Allah pada Kitab-Nya dan diizinkan-Nya”, ia lalu membaca ayat tersebut.
2. Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW datang ke Madinah dimana penduduknya melakukan salam dalam buah-buahan untuk jangka waktu satu, dua, dan tiga tahun. Beliau berkata: “Barangsiapa yang melakukan salaf (salam) hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula untuk jangka waktu yang diketahui”
Ø
Bai’ al-istishna’ (purchase by order or
manufacture)
Bai’ al-istishna’ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli) dan penjual/Shani’. Shani akan menyiapkan barang yang dipesan sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati dimana ia dapat menyiapkan sendiri atau melalui pihak lain. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran, apakah pembayaran dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang. Menurut jumhur fuqaha, bai’ al-istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari akad bai’ as-salam. Biasanya jenis ini dipergunakan di bidang manufaktur. Dengan demikian, ketentuan bai’ al-istishna’ mengikuti ketentuan dan aturan akad bai’ as-salam.
Bai’ al-istishna’ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli) dan penjual/Shani’. Shani akan menyiapkan barang yang dipesan sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati dimana ia dapat menyiapkan sendiri atau melalui pihak lain. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran, apakah pembayaran dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang. Menurut jumhur fuqaha, bai’ al-istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari akad bai’ as-salam. Biasanya jenis ini dipergunakan di bidang manufaktur. Dengan demikian, ketentuan bai’ al-istishna’ mengikuti ketentuan dan aturan akad bai’ as-salam.
Dasar hukum
Mengingat bai’ al-istishna’ merupakan lanjutan dari bai’ as-salam maka secara umum landasan syariah yang berlaku pada bai’ as-salam juga berlaku pada bai’ al-istishna’.
Mengingat bai’ al-istishna’ merupakan lanjutan dari bai’ as-salam maka secara umum landasan syariah yang berlaku pada bai’ as-salam juga berlaku pada bai’ al-istishna’.
Al-Istishna’ Paralel:
Dalam al-istishna’ paralel, penjual membuat akad al-istishna’ dengan subkontraktor untuk membantunya memenuhi kewajiban akad al-istishna’ pertama (antara penjual dan pemesan). Pihak yang bertanggung jawab pada pemesan tetap terletak pada penjual tidak dapat dialihkan pada subkontraktor karena akad terjadi antara penjual dan pemesan bukan pemesan denga subkontraktor. Sehingga penjual tetap bertanggung jawab atas hasil kerja subkontraktor.
Dalam al-istishna’ paralel, penjual membuat akad al-istishna’ dengan subkontraktor untuk membantunya memenuhi kewajiban akad al-istishna’ pertama (antara penjual dan pemesan). Pihak yang bertanggung jawab pada pemesan tetap terletak pada penjual tidak dapat dialihkan pada subkontraktor karena akad terjadi antara penjual dan pemesan bukan pemesan denga subkontraktor. Sehingga penjual tetap bertanggung jawab atas hasil kerja subkontraktor.
C. Prinsip
Sewa (Operational Lease and Financial Lease)
Ø
Al-ijarah (operational lease)
Al-Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri.
Al-Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri.
Dasar hukuim
1. “Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Baqarah: 233).
Yang menjadi dalil dari ayattersebut adalah ungkapan “apabila kamu memberikan pembayaran yang patut”. Ungkapan tersebut menunjukkan adanya jasa yang diberikan berkat kewajiban membayar upah secara patut. Dalam hal ini termasuk di dalamnya jasa penyewaan atau leasing.
2. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu”, (HR. Bukhari dan Muslim).
1. “Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Baqarah: 233).
Yang menjadi dalil dari ayattersebut adalah ungkapan “apabila kamu memberikan pembayaran yang patut”. Ungkapan tersebut menunjukkan adanya jasa yang diberikan berkat kewajiban membayar upah secara patut. Dalam hal ini termasuk di dalamnya jasa penyewaan atau leasing.
2. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu”, (HR. Bukhari dan Muslim).
Ø Al-ijarah
al-muntahia bi at-tamlik (financial lease with purchase option)
Adalah sejenis perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan si penyewa.
Adalah sejenis perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan si penyewa.
D. Prinsip
Jasa (Fee-Based Services)
Ø
Al-wakalah (deputyship)
• Pengertian:
Al-Wakalah berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat. Akad al-wakalah adalah akad pelimpahan kekuasaan oleh satu pihak kepada pihak lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan. Agen (wakil) boleh menerima komisi dan boleh juga tidak menerima komisi. Tetapi bila ada komisi atau upah maka adaknya seperti akad ijarah/sewa menyewa. Wakalah dengan imbalan disebut dengan wakalah bil ujrah, bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak.
• Landasan Syariah:
1. “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya akau adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengalaman”. Dalam konteks ayat ini, Nabi Yusuf as siap untuk menjadi wakil dan pengemban amanah menjaga gudang uang negeri Mesir.
2. “Bahwasanya Rasulullah SAW mewakilkan kepada Abu Rafi’dan seorang Anshar untuk mewakilinya mengawini Maimunah binti al-harits”. (Malik dalam kitab al-Muwaththa)
3. Ijma para ulama yang bersepakat atas dibolehkannya wakalah.
• Pengertian:
Al-Wakalah berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat. Akad al-wakalah adalah akad pelimpahan kekuasaan oleh satu pihak kepada pihak lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan. Agen (wakil) boleh menerima komisi dan boleh juga tidak menerima komisi. Tetapi bila ada komisi atau upah maka adaknya seperti akad ijarah/sewa menyewa. Wakalah dengan imbalan disebut dengan wakalah bil ujrah, bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak.
• Landasan Syariah:
1. “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya akau adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengalaman”. Dalam konteks ayat ini, Nabi Yusuf as siap untuk menjadi wakil dan pengemban amanah menjaga gudang uang negeri Mesir.
2. “Bahwasanya Rasulullah SAW mewakilkan kepada Abu Rafi’dan seorang Anshar untuk mewakilinya mengawini Maimunah binti al-harits”. (Malik dalam kitab al-Muwaththa)
3. Ijma para ulama yang bersepakat atas dibolehkannya wakalah.
Ø
Al-kafalah (guaranty)
• Pengertian:
Kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Akad kafalah secara teknis berupa perjanjian bahwa seseorang memberikan penjaminan kepada seorang kreditor yang memberikan utang kepada seorang debitor, yaitu menjamin bahwa utang debitor akan dilunasi oleh penjamin apabila debitor tidak membayar utangnya. Contoh akad kafalah garansi bank dsb.
• Landasan Syariah:
1. “Penyeru-penyeru itu berseru, ‘Kami kehilangan piala raja dan barangsiapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh makanan (seberat) beban unta dan aku menjamin terhadapnya.” (QS. Yusuf: 72). Kta za’im yang berarti penjamin dalam surat Yusuf tsb adalah gharim, orang yang bertanggung jawab atas pembayaran.
2. Telah dihadapkan kepada Rasulullah SAW mayat seorang laki-laki utk dishalatkan…Rasulullah SAW bertanya: “Apakah dia mempunyai hutang? Sahabat menjawab: “ya sejumlah tiga dinar…Abu Qatadah lalu berkata: “Saya menjamin utangnya ya Rasulullah…” (HR. Bukhari)
• Pengertian:
Kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Akad kafalah secara teknis berupa perjanjian bahwa seseorang memberikan penjaminan kepada seorang kreditor yang memberikan utang kepada seorang debitor, yaitu menjamin bahwa utang debitor akan dilunasi oleh penjamin apabila debitor tidak membayar utangnya. Contoh akad kafalah garansi bank dsb.
• Landasan Syariah:
1. “Penyeru-penyeru itu berseru, ‘Kami kehilangan piala raja dan barangsiapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh makanan (seberat) beban unta dan aku menjamin terhadapnya.” (QS. Yusuf: 72). Kta za’im yang berarti penjamin dalam surat Yusuf tsb adalah gharim, orang yang bertanggung jawab atas pembayaran.
2. Telah dihadapkan kepada Rasulullah SAW mayat seorang laki-laki utk dishalatkan…Rasulullah SAW bertanya: “Apakah dia mempunyai hutang? Sahabat menjawab: “ya sejumlah tiga dinar…Abu Qatadah lalu berkata: “Saya menjamin utangnya ya Rasulullah…” (HR. Bukhari)
Ø
Al-hawalah (transfer service)
• Pengertian:
Adalah pengalihan hutang dari orang yang berhutang ke pada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam istilah para ulama, hal ini merupakan pemindahan beban hutang dari muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal ‘alaih atau orang yang berkewajiban membayar hutang.
• Landasan Syariah:
1. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kedzaliman. Dan jika salah seorang dari kamu diikutkan (dihawalahkan) kepada orang yang mampu/kaya terimalah hawalah itu”.
2. Ijma ulama bahwa hawalah dibolehkan.
3. Bill discounting. Secara prinsip bill discounting serupa dengan hawalah, hanya saja dalam bill discounting nasabah hrs membayar fee.
• Pengertian:
Adalah pengalihan hutang dari orang yang berhutang ke pada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam istilah para ulama, hal ini merupakan pemindahan beban hutang dari muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal ‘alaih atau orang yang berkewajiban membayar hutang.
• Landasan Syariah:
1. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kedzaliman. Dan jika salah seorang dari kamu diikutkan (dihawalahkan) kepada orang yang mampu/kaya terimalah hawalah itu”.
2. Ijma ulama bahwa hawalah dibolehkan.
3. Bill discounting. Secara prinsip bill discounting serupa dengan hawalah, hanya saja dalam bill discounting nasabah hrs membayar fee.
Ø
Ar-rahn (mortage)
• Pengertian:
Ar-Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Sedangkan barang gadaian dalam dunia finansial disebut collateral.
• Landasan Syariah:
1. “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).. (QS. Al-Baqarah: 283)
2. “Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW membeli makanan dari seorang Yahudi dan menjaminkan kepadanya baju besi. (HR. Bukhari dan Muslim)
• Pengertian:
Ar-Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Sedangkan barang gadaian dalam dunia finansial disebut collateral.
• Landasan Syariah:
1. “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).. (QS. Al-Baqarah: 283)
2. “Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW membeli makanan dari seorang Yahudi dan menjaminkan kepadanya baju besi. (HR. Bukhari dan Muslim)
Ø
Al-qardh (soft and benevolent loan)
• Pengertian:
Adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan.
• Landasan Syariah:
1. “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik. Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya dan dia akan memperoleh pahala yang banyak” (QS. Al-Hadid: 11)
2. Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidaklah seorang muslim (mereka) yang meminjamkan muslim lainnya dua kali kecuali yang satunya adalah senilai sedekah (HR. Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Baihaqi).
• Pengertian:
Adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan.
• Landasan Syariah:
1. “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik. Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya dan dia akan memperoleh pahala yang banyak” (QS. Al-Hadid: 11)
2. Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidaklah seorang muslim (mereka) yang meminjamkan muslim lainnya dua kali kecuali yang satunya adalah senilai sedekah (HR. Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Baihaqi).
3.
Strategi dan sasaran penyaluran dana
Yang pertama, seorang marketing melakukan segmentasi pasar
atas produk yang dijual. Segmentasi pasar pada intinya membagi potensi pasar
menjadi bagian-bagian tertentu, bisa berdasar: pembagian demografis,
berdasarkan kelas ekonomi dan pendidikan, ataupun berdasar gaya hidup
(psikografi). Untuk bank syariah, dapat dilakukan segmentasi atau mengenali
potensi-potensi nasabah yang akan diprospek. Dari sisi demografis, calon
nasabah bank syariah bisa dibagi menjadi 2 kategori yakni calon nasabah muslim
dan non-muslim. Dari sisi psikografi, marketing funding dapat masuk ke
institusi/organisasi muslim/syariah minded untuk memperoleh awareness yang kuat
dalam memasarkan produk-produk perbankan syariah.
Setelah segmentasi atas produk telah ditetapkan, maka
langkah berikutnya adalah melakukan targeting atau membidik target market yang
telah dipilih dalam analisa segmentasi pasar. Mengenali potensi nasabah dan
keinginan nasabah secara tepat dapat memberikan added value agar produk-produk
perbankan syariah dapat diterima.
Setelah targeting, langkah berikutnya adalah melakukan
positioning produk. Langkah ini artinya menciptakan keunikan posisi produk
dalam benak atau persepsi nasabah prospek yang akan dibidik. Produk-produk
perbankan syariah memiliki keunikan sendiri untuk dapat dijual dan diterima
oleh masyarakat, salah satunya proses “bagi hasil” ketika calon nasabah
menempatkan dana nya di perbankan syariah. Proses edukasi secara kontinyu
kepada calon nasabah mengenai skema akan produk perbankan syariah menjadikan
sosok marketing menjadi juru dakwah selain berprofesi sebagai karyawan.
4. Penanganan
nasbah bermasalah
1. Stay Strategy adalah strategi saat Bank masih ingin mempertahankan hubungan bisnis
dengan nasabah dalam konteks waktu jangka panjang.
a. Penagihan intensif
b. Rescheduling
Memperpanjang jangka waktu pembiayaanü
Dalam hal ini si debitur diberikan keringanan dalam masalah jangka waktu pemiayaan misalnya perpanjangan jangka waktu pembiayaan dari 6 bulan menjadi satu tahun sehingga si debitur mempunyai waktu yang lebih lama untuk mengembalikannya.
c. Reconditioning
Dengan cara mengubah berbagai persyaratan yang ada seperti;
Penundaan pembayaran marjin sampai waktu tertentu.
Dalam hal penundaan pembayaran marjin sampai waktu tertentu, maksudnya hanya marjin yang dapat ditunda apembayarannya, sedangkan pokok pinjamannya tetap harus dibayar seperti biasa.
Penurunan marjin.
Penurunan marjin dimaksudkan agar lebih meringankan beban nasabah..
Pembebasan marjin.
Dalam pembebasan marjin diberikan kepada nasabah dengan pertimbangan nasabah sudah akan mampu lagi membayar pembiayaan tersebut.
Akan tetapi nasabah tetap mempunyai kewajiban untuk membayar pokok
pinjamannya sampai lunas.
d. Restructuring
Dengan menambah jumlah pembiayaan
Dengan menambah equityü
b. Rescheduling
Memperpanjang jangka waktu pembiayaanü
Dalam hal ini si debitur diberikan keringanan dalam masalah jangka waktu pemiayaan misalnya perpanjangan jangka waktu pembiayaan dari 6 bulan menjadi satu tahun sehingga si debitur mempunyai waktu yang lebih lama untuk mengembalikannya.
c. Reconditioning
Dengan cara mengubah berbagai persyaratan yang ada seperti;
Penundaan pembayaran marjin sampai waktu tertentu.
Dalam hal penundaan pembayaran marjin sampai waktu tertentu, maksudnya hanya marjin yang dapat ditunda apembayarannya, sedangkan pokok pinjamannya tetap harus dibayar seperti biasa.
Penurunan marjin.
Penurunan marjin dimaksudkan agar lebih meringankan beban nasabah..
Pembebasan marjin.
Dalam pembebasan marjin diberikan kepada nasabah dengan pertimbangan nasabah sudah akan mampu lagi membayar pembiayaan tersebut.
Akan tetapi nasabah tetap mempunyai kewajiban untuk membayar pokok
pinjamannya sampai lunas.
d. Restructuring
Dengan menambah jumlah pembiayaan
Dengan menambah equityü
2. Phase out Strategy adalah
strategi saat pada prinsipnya Bank tidak ingin melanjutkan hubungan bisnis lagi
dengan nasabah yang bersangkutan dalam konteks waktu yang panjang,kecuali bila
ada faktor-faktor lain yang sangat mendukung kemungkinan adanya perbaikan
kondisi nasabah.
a. BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional), penyelesaian tersebut dilakukan
melalui keadaan setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
b. Pengadilan, dapat berupa: (i) Eksekusi Hak Tanggungan (HT) atas agunan; (ii) Eksekusi agunan yang diikat secara Fidusia yang didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia (KPF); Melakukan gugatan terhadap aset-aset lainnya milik nasabah; baik yang berlokasi di dalam maupun di luar negeri; (iv) Pelaporan pidana terhadap nasabah,dsbg
b. Pengadilan, dapat berupa: (i) Eksekusi Hak Tanggungan (HT) atas agunan; (ii) Eksekusi agunan yang diikat secara Fidusia yang didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia (KPF); Melakukan gugatan terhadap aset-aset lainnya milik nasabah; baik yang berlokasi di dalam maupun di luar negeri; (iv) Pelaporan pidana terhadap nasabah,dsbg
0 komentar:
Posting Komentar